A. Pengertian Inovasi Pembelajaran
Menurut Essentad inovasi ini adalah proses perubahan sosial, ekonomi
politik, yang telah berkembang di Eropa barat dan Amerika utara dari abad ke 17
– ke – 19 dan kemudian berkembang pula ke Amerika Selatan, Asia dan Amerika.
Menurut Zalman dan Ducan inovasi adalah perubahan sosial yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan diamati sebagai suatu yang baru
bagi sekelompok orang. Tetapi perubahan sosial belum tentu Inovasi.
Inovasi adalah gagasan, perbuatan atau sesuatu yang baru dalam konteks
sosial tertentu dan pada suatau jangka waktu tertentu untuk menjawab masalah
yang dihadapi. Sesuatu yang baru, mungkin sudah lama dikenal pada konteks
sosial lain untuk sesuatu itu sudah lama dikenal tetapi belum dilakukan
perubahan. Dapat disimpulkan, bahwa inovasi adalah perubahan, tetapi semua
perubahan belum tentu inovasi. (Ansyar dan Nurtain, ”Pengembangan dan
Inovasi Kurikulum”. 1992: 30).
Inovasi dapat dimaknai sebagai suatu
ide, produk, metode, dan seterusnya yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru,
yang dapat mendorong terjadinya perubahan yang lebih baik. Inovasi sering
dikaitkan dengan diskoveri dan invensi. Diskoveri adalah penemuan
sesuatu yang sebenarnya sudah ada, tetapi belum diketahui orang. Dan invensi
adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru, artinya hasil karya manusia
(Anonym, 2011) (Tidak tersedia) http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/22/apa-sih-pentingnya-inovasi-pembelajaran-397531.http
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Unsur manusiawi ini terlibat dalam
sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya saja
tenaga laboratorium. Unsur material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur,
fotografi, slide dan film, audio dan video tape. Unsur fasilitas dan
perlengkapan terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, dan
komputer. Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik,
belajar, ujian dan sebagainya (Hamalik, 2005: 57).
Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan yang memungkinkan
terjadinya proses belajar. Lingkungan pembelajaran dapat diciptakan oleh semua
pihak yang terkait sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif
dan efisien.
Dari pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa inovasi pembelajaran adalah suatu hal yang baru dan dengan
sengaja diadakan untuk meningkatkan kemampuan demi tercapai suatu tujuan
pembelajaran. Atau dengan kata lain inovasi pembelajaran tersebut diadakan
untuk membantu guru dan siswa dalam menata dan mengorganisasi pembelajaran menuju
tercapainya tujuan belajar. Bisa juga inovasi kurikulum dan pembelajaran dapat
diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau tindakan-tindakan tertentu dalam
bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan suatu
masalah pendidikan (Sanjaya, 2008: 317).
B. Tujuan
Inovasi Pembelajaran
Melalui pembelajaran-pembelajaran inovatif dapat
diketahaui apa tujuan pembelajaran tersebut untuk siswa. Dan siswa akan mengetahui bagaimana
cara menyelesaikan suatu persoalan dengan menggunakan solusi yang tepat. Jika
diberi suatu persoalan siswa akan lebih tanggap dan berusaha menyelesaikan.
Sehingga pembelajaran inovatif yang diterapkan oleh guru tidak membuat siswa
jenuh terhadap pelajaran Biologi yang dianggap sebagian siswa sebagai pelajaran
yang sulit.
Dari pelaksanaan pembelajaran-
pembelajaran yang inovatif terjadi peningkatan motivasi belajar siswa terhadap
pelajaran Biologi, misalnya siswa akan lebih tertarik dan tertantang untuk
menerima atau mengikuti pelajaran Biologi, respon siswa meningkat, dan siswa
juga lebih aktif dan kreatif. Dalam proses pembelajarannya siswa akan cenderung
lebih aktif bertanya serta aktif menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan
dalam bidang Biologi. Yang dipelajari siswa diharapkan berguna bagi hidupnya.
Dengan demikian siswa akan memposisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan
bekal untuk hidupnya nanti.
Menurut santoso (1974)
tujuan utama inovasi, yakni meningkatkan sumber-sumber
tenaga, uang dan sarana termasuk struktur dan prosedur organisasi. Tujuan
inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas dan
efektivitas : sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya dengan hasil
pendidikan sebesar-besarnya (menurut kriteria kebutuhan peserta didik,
masyarakat dan pembangunan) dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat dan
waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya (Prabowo, 2010) (Tersedia) http://singgihprabowo.blogspot.com.tujuan-inovasi-pendidikan.htmltujuan-inovasi-pendidikan.html
C. Model-model Inovasi Pembelajaran
Inovasi Pembelajaran Kuantum
Pembelajaran kuantum dikembangkan
oleh Bobby Deporter yang beranggapan bahwa metode belajar ini sesuai dengan
cara kerja otak manusia dan cara belajar manusia pada umumnya. Pembelajaran
kuantum sebagai salah satu model, strategi, dan pendekatan pembelajaran
khususnya menyangkut keterampilan-keterampilan guru dalam merancang,
mengembangkan, dan mengelola sistem pembelajaran sehingga guru mampu
menciptakan suasana pembelajaran yang efektif, menggairahkan, dan memiliki
keterampilan hidup (Kaifa, 1999 dalam Sa’ud, 2008: 126).
Istilah ”Quantum” berasal dari dunia
ilmu fisika yang berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya (Sa’ud,
2008: 127). Sehingga dalam pembelajaran Quantum Learning bisa diartikan sebagai
pengajaran yang dapat mengubah suasana belajar mengajar yang lebih menyenangkan
serta dapat mengubah kemampuan dan bakat alamiah peserta didik menjadi cahaya
yang akan bermanfaat bagi peserta didik sendiri dan bagi orang lain yang ada
disekelilingnya.
Quantum Learning merupakan
orkestrasi bermacam-macam interaksi yang di dalam dan sekitar momen belajar
atau suatu pembelajaran yang mempunyai misi utama untuk mendesain suatu proses belajar
yang menyenangkan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang
mempengaruhi kesuksesan siswa (Ahmad dan
Joko, 1997: 27).
Beberapa hal yang penting dicatat
dalam Quantum Learning adalah sebagai berikut: para siswa dikenali tentang
“kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai
potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu juga
dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memberikan bagaimana proses otak
itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses
belajar itu mirip bekerjanya dengan otak seorang anak yang berusia 6-7 tahun
yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan
bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana
faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan
kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa
kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus
berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses
belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan” (Gordon, 2003: 26).
Berdasarkan penjelasan mengenai apa
dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model
pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik,
matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal,
intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik
(melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui
bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi
(melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat) (Sugiarto, 2004: 30).
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
dalam pembelajaran Quantum Learning merupakan penerapan cara belajar baru yang
lebih melihat kemampuan masing-masing peserta didik berdasarkan kelebihan atau
kecerdasan yang dimilikinya. Dalam Quantum Learning guru sebagai pengajar tidak
hanya memberikan bahan ajar, tetapi juga memberikan motivasi kepada peserta
didiknya, sehingga peserta didik merasa bersemangat dan timbul kepercayaan
dirinya untuk belajar lebih giat dan dapat melakukan hal-hal yang positif
sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimilikinya. Cara belajar yang diberikan
kepada peserta didik pun harus menarik dan bervariasi, sehingga peserta didik
tidak merasa jenuh untuk menerima berbagai macam materi pelajaran yang akan
diberikan dalam proses belajar mengajar. Disamping itu, lingkungan belajar yang
nyaman juga dapat membuat suasana kelas menjadi kondusif. Peserta didik dapat
menangkap materi yang diajarkan dengan mudah karena lebih mudah untuk fokus
kepada penyampaian guru. Pembelajaran pada Quantum Learning menuntut setiap
peserta didik untuk bisa membaca secara cepat dan membuat ringkasan berupa
catatan terserah senyamannya cara mereka meringkasnya bagaimana.
a. Penerapan Quantum Learning Dalam
Pembelajaran
1) Kekuatan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku)
Ambak adalah
motivasi yang didapat dari pemilihan
secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan. Motivasi sangat
diperlukan dalam belajar karena dengan adanya motivasi maka keinginan untuk
belajar akan selalu ada. Pada langkah ini siswa akan diberi motivasi oleh guru
agar siswa dapat mengidentifikasi dan mengetahui manfaat atau makna dari setiap pengalaman atau
peristiwa yang dilaluinya dalam hal ini adalah proses belajar.
2) Penataan lingkungan belajar
Dalam proses belajar dan mengajar
diperlukan penataan lingkungan yang dapat membuat siswa merasa aman dan nyaman,
dengan perasaan aman dan nyaman ini akan menumbuhlkan konsentrasi belajar siswa
yang baik. Dengan penataan lingkungan belajar yang tepat juga dapat mencegah kebosanan dalam
diri siswa.
3) Memupuk sikap juara
Memupuk sikap juara perlu dilakukan
untuk lebih memacu dalam belajar siswa, seorang guru hendaknya jangan
segan-segan untuk memberikan pujian atau hadiah pada siswa yang telah berhasil
dalam belajarnya, tetapi jangan pula mencemooh siswa yang belum mampu menguasai
materi. Dengan memupuk sikap juara ini siswa akan merasa lebih dihargai.
4) Bebaskan gaya belajarnya
Ada berbagai macam gaya belajar yang
dipunyai oleh siswa, gaya belajar tersebut yaitu: visual, auditorial dan
kinestetik. Dalam Quantum Learning
guru hendaknya memberikan kebebasan dalam belajar pada siswanya dan
janganlah terpaku pada satu gaya belajar saja (Riyanto, 2009: 186).
5) Membiasakan mencatat
Belajar akan benar-benar dipahami
sebagai aktivitas kreasi ketika siswa
tidak hanya bisa menerima, melainkan
bisa mengungkapkan kembali apa yang didapatkan menggunakan bahasa hidup dengan
cara dan ungkapan sesuai gaya belajar siswa itu sendiri. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan simbol-simbol atau gambar yang mudah dimengerti
oleh siswa itu sendiri, simbol-simbol tersebut dapat berupa tulisan.
6)
Membiasakan membaca
Salah satu aktivitas yang cukup penting adalah membaca. Karena dengan membaca akan menambah perbendaharaan
kata, pemahaman, menambah wawasan dan daya ingat akan bertambah. Seorang guru
hendaknya membiasakan siswa untuk membaca, baik buku pelajaran maupun buku-buku
yang lain.
7) Jadikan anak lebih kreatif
Siswa yang kreatif adalah siswa yang
ingin tahu, suka mencoba dan senang bermain. Dengan adanya sikap kreatif yang
baik siswa akan mampu menghasilkan ide-ide yang segar dalam belajarnya.
8) Melatih kekuatan memori
Kekuatan memori sangat diperlukan
dalam belajar anak, sehingga siswa perlu
dilatih untuk mendapatkan kekuatan memori yang baik.
b.
Kelebihan Dan
Kelemahan` Quantum Learning
1)
Kelebihan Quantum
Learning
Quantum
Learning sebagai salah satu metode belajar
dapat memadukan antara berbagai sugesti positif dan interaksinya dengan
lingkungan yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang.
Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat menimbulkan motivasi pada diri seseorang
sehingga secara langsung dapat mempengaruhi proses belajar metode Quantum
Learning dengan teknik peta pikiran (mind mapping) memiliki manfaat yang sangat
baik untuk meningkatkan potensi akademis (prestasi belajar) maupun potensi
kreatif yang terdapat dalam diri siswa (Buzan, 2004: 35).
Pembelajaran Quantum Learning menekankan perkembangan akademis dan
keterampilan. Dalam pendekatan pembelajaran uantum Learning, guru mampu menyatu dan membaur pada dunia peserta
didik sehingga guru bisa lebih memahami peserta didik dan ini menjadi modal
utama yang luar biasa untuk mewujudkan metode yang lebih efektif yaitu metode
belajar mengajar yang lebih menyenangkan (Leliana, 2011) (Tersedia) http://leliana85.blogspot.com/2011/02/model-pembelajaran-quantum-learning.html
Model pembelajaran dalam Quantum Learning lebih santai dan
menyenangkan karena ketika belajar sambil diiringi musik. Hal ini dapat
mendukung proses belajar mengajar, karena musik akan bisa meningkatkan kinerja
otak sehingga diasumsikan bahwa belajar dengan diiringi musik akan mewujudkan
suasana yang lebih menenangkan dan materi yang disampaikan lebih mudah
diterima.
Dalam pembelajaran kuantum, objek
yang menjadi tujuan utama adalah peserta didik. Maka dari itu guru mengupayakan
berbagai interaksi dan menyingkirkan hambatan belajar dengan cara yang tepat
agar siswa dapat belajar secara mudah dan alami. Semua itu bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi
prestasi peserta didik.
2) Kelemahan Quantum Learning
a) Memerlukan dan menuntut keahlian dan keterampilan guru lebih khusus.
b) Memerlukan proses perancangan dan persiapan pembelajaran yang cukup matang
dan terencana dengan cara yang lebih baik.
c) Adanya keterbatasan sumber belajar, alat belajar, dan menuntut situasi dan
kondisi serta waktu yang lebih banyak.
2. Inovasi Pembelajaran Kompetensi
a. Pengertian Pembelajaran Kompetensi
Istilah
kompetensi secara umum berasal dari bahasa Inggris competence yang
berarti “the ability to do something” yaitu kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu. Kompetensi dalam hal ini dapat diartikan sebagai perpaduan semua aspek
yaitu dari mulai pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap maupun
minat yang direflesikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Mulyasa, 2008:
37).
Sedangkan
istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani Curir yang artinya pelari,
dan Curere artinya tempat berpacu atau tempat lomba. Dan Curriculum
berarti “jarak” yang harus ditempuh (Trianto, 2011: 13). Sehingga kurikulum
dapat diartikan sebagai bagian dari seluruh pengalaman-pengalaman yang
dirancang oleh suatu kelembagaan pendidikan yang harus diberikan kepada para
peserta didik guna tercapainya tujuan pendidikan (Sudiyono, 2004: 24).
Berdasarkan
pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) merupakan suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar tertentu,
sehingga hasilnya akan dirasakan oleh para peserta didik, yaitu berupa
penguasaan-penguasaan terhadap suatu kompetensi-kompetensi tertentu.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) memberikan keluasaan kepada sekolah untuk menyusun
dan mengembangkan silabus mata pelajaran sesuai dengan potensi sekolah,
kebutuhan dan kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat disekitar
sekolah, sehingga dimungkinkan beragamnya kurikulum antarsekolah atau wilayah
tanpa mengurangi kompetensi yang telah ditetapkan dan berlaku secara nasional
(standar akademis) (Mulyasa, 2008: 27).
Dalam konsep
KBK lebih memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh para
peserta didik, oleh karena itu dalam KBK ini mencakup sejumlah kompetensi, dan
tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya
dapat diamati dalam bentuk perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai
suatu criteria keberhasilan. KBK menuntut guru yang berkualitas dan profesional
untuk melakukan kerjasama dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan
(Mulyasa, 2008: 40).
Dalam pembelajaran kompetensi, siswa sebagai subjek belajar yang memegang
peranan utama, sehingga dalam proses belajar mengajar siswa dituntut untuk
lebih kreativitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan
pelajaran (Sa’ud, 2008: 141) .
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa, guru merupakan fasilitator, serta
memegang berbagai sumber maupun fasilitas yang akan dipelajari oleh siswanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, pembelajaran berbasis kompetensi adalah
pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi siswa.
Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi
siswa yang dapat diukur dalam pola
sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
Menurut (Martinis Yamin, 2005 dalam Sa’ud, 2008: 144) mengatakan bahwa
dalam pembelajaran kompetensi memiliki sembilan kompetensi yang bersifat strategis yaitu sebagai berikut:
1) Menyadari bahwa setiap orang merupakan mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki
keyakinan sesuai agama yang dianutnya.
2) Mengggunakan bahasa uantuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan
gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
3) Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep numerik dan spesial, serta
mampu mencari dan menyusun pola, struktur dan hubungan.
4) Menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan, ditemukan dan diperoleh
dari berbagai sumber dalam kehidupan.
5) Memahami dan menghargai dunia fisik, mahluk hidup dan teknologi, dan
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil
keputusan yang tepat.
6) Memahami kontek budaya geografi, sejarah dan emmiliki pegetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai untuk berpartisipasi dalam kehidupan, serta
berinteraksi dan berkonstribusi dalam masyarakat dan budaya global.
7) Berpartisipasi dalam kegiatan kreatif dna lingkungan untuk saling
menghargai karya artisik, budaya dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai
luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
8) Menunjukan kemampuan berfikir konsekuen, berpikir literal, kritis,
memperhitungkan peluang, dan potensi, serta siap untuk menghadapi berbagai
kemungkinan.
9) Menunjukan motivasi dan percaya diri dalam belajar, dan mampu bekerja sama
dengan orang lain.
10) Penyusunan materi pembelajaran kompetensi mencakup tiga komponen utama yang
harus dikuasai siswa, yaitu kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator.
b. Karakteristik Pembelajaran Kompetensi
Menurut
Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara
individual maupun klasikal.
2)
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)
dan keberagaman.
3)
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan
metode yang bervariasi.
4)
Sumber belajar bukan hanya guru, akan tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5)
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam
upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
3. Inovasi Pembelajaran Kontekstual
a. Karakteristik pembelajaran kontekstual
Dalam (Sa’ud, 2008: 163-164) karakteristik dalam pembelajarn konstektual
yaitu sebagai berikut:
1) Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah
ada, artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang
sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang sudah diperoleh siswa adalah
pengetahaun yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain
2) Pembelajaran konstektual adalah belajar dalam rangkah memperoleh dan menambah
pengetahuan baru, yang diperoleh denga cara deduktif, artinya pembelajaran
dimulai dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian meperhatikan
detailnya bagaimana
3) Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk
dihafal tapi untk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tenggapan
dari yang lain tentang bagaimana pengetahuan yang diperolehnya dan bedasarkan
tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan
4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, atrinya pengetahaun dan
pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa,
sehingga tampak perubahan perilaku siswa
5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahaun. Hal ini
dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan
strategi.
b. Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Elaine B. Jhonson (2002) dalam (Sa’ud, 2008: 165), mengatakan bahwa dalam
pembelajarn konsektual, minimal ada tiga prinsip utama yang sering digunakan,
yaitu: saling ketergantungan (interdepence), diferensiasi (differetiation),
dan pengorganisasian diri (self organization).
1) Prinsip saling ketergantungan (interdepence), menurut hasil kajian
para ilmuan segala yang ada didunia ini adalah saling berhubungan dan
ketergantungan. Segala yang ada baik manusai maupun makhluk hidup lainnya
selalu saling berhubungan satu sama lainnya membentuk pola dan jaring sistem
hubungan yang kokoh dan teratur
2) Prinsip diferensiasi (differetiation) yang menunjukan kepada sifat
alam yang secara terus menerus menimbulkan perbedaan, keseragaman, dan
keunikan. Alam tidak pernah mengulang dirinya, melainkan keberadaanya selalu
berbeda. Sehingga dalam prinsip ini menunjukan sesuatu yang sangat luar biasa
dalam kreativitas alam semesta.
3) Prinsip pengorganisasian diri (self organization), setiap individu
atau kesatuan dalam alam semesta mempunyai potensi yang melekat, yaitu
kesadaran sebagai kesatuan utuh yang berbeda dari yang lain. Tiap hal memiliki
organisasi diri, keteraturan diri, kesadaran diri, pemeliharan diri sendiri,
suatu energi atau kekuatan hidup, yang memungkinkan mempertahankan dirinya
secara khas, berbeda dengan yang lainnya.
c. Asas-Asas dalam Pembelajaran Kontekstual
1) Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan suatu proses yang membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Sanjaya, 2008: 118).
Kontuktivisme juga merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
membangun pengetahuan ini memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
2) Inkuiri
Inkuiri adalah proses pembelajaran
didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara
sistematis (Sanjaya, 2008: 119). Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL,
melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan
hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan
sendiri.
1) Bertanya (Questioning)
Pada dasarnya pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu berawal dari
bertanya. Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran berbasis CTL.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa (Riyanto, 2009: 171).
Hal ini bisa dikatakan pula bahwa dalam pembelajaran yang berbasis inkuiri,
proses bertanya (questioning) merupakan hal yang sangat penting karena
dapat menggali berbagai macam informasi yang belum diketahui sebelumnya, maupun
informasi yang sudah diketahui agar dapat memperbanyak pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya ini dapat
berguna untuk: menggali informasi siswa baik dalam aspek administrasi maupun
aspek akademis; mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada siswa;
mengetahui sejauh mana rasa keingintahuan siswa; mengetahui hal-hal yang sudah
diketahui siswa; memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki
guru; membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan siswa; serta dapat menyegarkan
kembali pengetahuan siswa (Riyanto, 2009: 172)
2) Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan
kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Seperti
yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran
diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing).
Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima,
sifat ketergantungan yang positif dalam learning community dikembangkan.
Dalam kelas pembelajaran konstektual, penerapan asas masyarakatbelajar
dapat dilakukan melalui kelompok belajar. Siswa akan dibagi dalam beberapa
kelompok anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuannya maupun
dari kecepatan belajarnya, minat dan bakatya. Dalam kelompok mereka saling
membelajarkan, jika perlu guru untuk dapat mendatangkan seseorang yang memiliki
keahlian khusus untuk membelajarkan siswa tersebut (Sa’ud, 2008: 170).
3) Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan modelling adalah proses pembelajaran dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa
(Sanjaya, 2008: 121). Modelling merupakan komponen yang cukup penting
dalam pembelajaran CTL, hal ini dikarenakan dalam asas modelling siswa
dapat terhindar dari pmbelajaran yang teoritis–abstrak yang dapat memungkinkan
terjadinya verbalisme.
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu, ada model
yang dapat ditiru. Model itu bisa berupa cara untuk mengoperasikan sesuatu,
cara melempar bola dalam olahraga, contoh karya tulis, cara melafalkan, dan
sebagainya. Atau bisa juga seorang guru memberikan contoh bagaimana cara untuk
mengerjakan sesuatu (Riyanto, 2009: 174). Dalam pendekatan CTL, seorang guru
bukanlah satu-satunya model. Akan tetapi model dapat dirancang dengan lebih
melibatkan siswa itu sendiri.
4) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa yang lalu.
Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refreksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan baru
yang diterimanya (Riyanto, 2009:174).
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki oleh
siswa diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudaian diperluas sedikit
demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Kunci
dari itu mengendap di benak siswa. siswa mencatat apa yang pernah dipelajari
dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan
refleksi. Realisnya berupa:
a) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperbolehnya hari itu,
b) Catatan atau jurnal dibuku siswa,
c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu,
d) Diskusi,
e) Hasil karya.
5) Penilaian nyata (Authentik Assessement)
Penilaian nyata merupakan proses yang dilakukan seorang guru untuk
mengumpulkan semua informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa belajar atau tidak
apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual siswa maupun mental siswa (Sa’ud, 2008: 172).
Sehingga dapat dikatakan bahwa, dalam penilaian lebih menekankan pada
proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan
nyata yang dilakukan siswa pada saat proses pembelajaran.
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil. Penilai tidak
hanya guru, akan tetapi bisa juga teman lain, atau orang lain (Riyanto, 2009:
175). Karakteristik dalam penilaian atau assessement yaitu:
a) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung,
b) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif,
c) Yang diukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta.
d) Berkesinambungan,
e) Terintegrasi,
f) Dapat digunakan sebagai feed back.
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai
dasar menila prestasi siswa adalah Proyek/kegiatan dan laporannya, PR, kuis,
karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal,
hasil tes tulis dan karya tulis (Riyanto, 2009: 176).
a. Model Pembelajaran Kontekstual
Guru mengajak siswa untuk memecahkan masalah bagaimana pencemaran sungai
terjadi dilingkungan sekitar kita. Banyak penduduk yang masih membuang sampah
kesungai, sampah berserakan dimana-mana akibat membuangnya disembarang tempat,
sehingga sampah menumpuk dilingkungan sekitar tempat tinggal. Disini guru dapat
membimbing siswa untuk dapat memcahkan masalah, bagaimana caranya agar kita
sebagai generasi muda perlu menyadari cinta terhadap lingkungan sekitar kita.
Melalui pertanyaan yang terbimbing siswa diajak untuk berfikir apa akibatnya
jika sungai tercemar. Bagaimanakah cara mngatasi hal tersebut? siswa
mengungkapkan dengan kata-kata mereka sendiri cara mengatasi masalah tesebut,
kemudian siswa menemukan solusi alternatif terbaik versi mereka, jangan sekali-kali
guru mendominasi jawaban mereka, biarkan mereka mengemukakan argumentasinya
sesuai dengan taraf berfikir siswa sekolah dasar (Sa’ud, 2008: 172).
Tahapan dalam model pembelajaran kontekstual meliputi empat tahapan, yaitu:
invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan tindakan.
1) Tahap invitasi, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya
tentang konsep yang dibahas.
2) Tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
mengemukakan konsep melalui pengumpulan,
pengorganisasian, penginterprestasikan data dalam sebuah kegiatan yang telah
dirancang oleh guru sebelumnya.
3) Tahap penjelasan dan solusi, yaitu ketika seorang siswa memberikan
penjelasan solusi yang berlandaskan pada hasil observasinya sendiri yang
kemudian diperkuat oleh penjelasan gurunya, sehingga siswa akan dapat
mengemukakan pendapat atau gagasan, membuat model, membuat rangkuman dan
ringkasan.
4) Tahapan pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan, mengunakan
pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan
pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik secara individu maupun kelompok yang
berhubungan dengan pemecahan masalah.
b. Langkah-langkah pembelajaran konstektual
Menurut (Sa’ud, 2008: 174)
mengungkapkan tahapan-tahapan dalam pembelajaran konstektual tersebut, maka
langkah-langkah dalam pembelajaran konstektual adalah:
1) Pendahuluan
a) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari
proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari
b) Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL:
(1) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa
(2) Tiap kelompok ditugaskan untuk mendemonstrasikan materi pencemaran
dan mencari kalimat yang menggunakan struktur kalimat
(3) Melalui demonstrasi tersebut siswa ditugaskan untuk mencari struktur
kalimat
c) Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap
siswa
2)
Inti
a)
Di Lapangan
(1) Siswa melakukan analisis mengenai materi pencemaran dengan struktur
kalimatnya bersama dengan kelompoknya
(2) Siswa mencatat hal-hal yang berkenaan dengan struktur kalimat
b) Di dalam kelas
(1) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya
masing-masng
(2) Siswa
melaporkan hasil diskusi
(3)
Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan
kelompok lain
3)
Penutup
a) Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil analisis dengan indikator
hasil belajar yang harus dicapai
b) Guru menugaskan siswa untuk untuk menyusun kalimat dengan struktur kalimat
tersebut dengan tema
pencemaran (Sa’ud, 2008: 175).
c. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kontekstual
Kelebihan dalam model pembelajaran
kontekstual yaitu sebagai berikut:
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk
dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan
berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada
siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana
seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan
filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan
”menghafal”.
3) Kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa
secara penuh, baik fisik maupun mental
4) Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh
informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di
lapangan
5) Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian
dari guru
6) Penerapan pembelajaran kontekstual dapat menciptakan suasana pembelajaran
yang bermakna
Sedangkan kelemahan dari pembelajaran kontekstual yaitu:
1) Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran kontekstual
berlangsung
2) Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi
kelas yang kurang kondusif
3) Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL, guru
tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan
ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran
guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak
melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan
tahap perkembangannya.
4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar
menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks
ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa
agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula (Indien,
2011) (Tersedia) http://indien.blogspot.com/2011/12/penerapan-pembelajaran-kontekstual.htm.
1. Inovasi Pembelajaran Melalui Teknologi Informasi (Internet)
E-Learning merupakan metode
pembelajaran yang berfungsi
sebagai pelengkap metode pembelajaran
konvensional dan memberikan lebih banyak
pengalaman afektif bagi pelajar.
Singkatnya, E-Learning menggunakan teknologi untuk
mendukung proses belajar. Inti
dari E-Learning ialah metode dimana peserta didik
diposisikan sebagai prioritas utama dengan meletakan semua sumber bahan
ajar di genggamannya. Peserta didik akan dapat mengatur durasi mata
kuliah dalam mempelajarinya dan akan mampu
menyerap serta mengembangkan pengetahuan dan keahlian dalam
sebuah lingkungan yang telah dibentuk khusus bagi dirinya.
E-Learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan
standar teknologi internet seperti CD-ROOM, Web TV, Web Cell Phones, pagers,
dan alat bantu digital personal lainnya walaupun bisa menyiapkan pesan
pembelajaran, akan tetapi tidak dapat digolongkan sebagai E-Learning
(Baskara, 2012) (Tersedia) http://bagusbayubaskara.blogspot.com/2012/04/e-learning-sebagai-media-pembelajaran.html
Perbedaan Pembelajaran konvensional dengan E-Learning yaitu
terletak pada pembelajaran konvensioanal guru dianggap sebagai orang yang
mengetahui segala hal dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuannya
kepada siswanya. Sedangkan di dalam E-Learning fokus utamanya adalah
siswa. Siswa mandiri pada waktu tertentu dan bertanggung jawab untuk
pembelajarannya. Suasana pembelajaran E-Learning akan memaksa siswa
memainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Siswa membuat
perancangan dan mencari materi dengan usaha, dan inisiatif sendiri. Dalam
pendidikan konvensional fungsi E-Learning bukan untuk mengganti, melainkan
memperkuat model pembelajaran konvensional.
Kapasitas siswa sangat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara
penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar content dan alat
penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada
gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.
E-Learning bukan hanya
sekedar kursus online,
akan tetapi juga membantu
memperluas wawasan. Metode ini memberikan akses kepada
informasi online, juga tersedia jaringan dimana para individu
dapat saling memecahkan masalah, disana terdapat para pengajar yang
hadir untuk menyediakan bimbingan dan nasihat.
Pembelajaran melalui komputer adalah bentuk pembelajaran yang dirancang
secara individual dengan cara siswa berinteraksi secara langsung dengan materi
pelajaran yang diprogram secara khusus melalui sistem komputer. Dengan
demikian, melalui komputer siswa dapat belajar sendiri dari mulai tujuan
pembelajaran yang akan dicapai, pengalaman belajar nyang harus dilakukan sampai
mengetahui tingkat keberhasilannya sendiri dalam pencapaian tujuan (Sanjaya, 2008: 333).
A. Masalah Inovasi Pembelajaran
Ada
beberapa masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita. Permasalahan itu
tampaknya akan selalu tetap ada membayangi kehidupan pendidikan kita, bahkan
akan semakin lebih kompleks. Dimana masalah tersebut diantaranya adalah;
masalah relevansi, masalah kualitas, masalah efektivitas dan efisiesnsi,
masalah daya tampung sekolah yang terbatas.
1. Masalah Relevansi Pendidikan
Yang dimaksud dengan relevansi adalah kesesuaian antara kenyataan atau
pelaksanaan dengan tuntunan dan harapan. Sedangkan dalam konteks pendidikan,
relevansi ini merupakan kesesuaian antara pelaksanaan dan hasil pendidikan
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Masalah relevansi pendidikan ini
dapat dilihat dari tiga sisi antara lain yaitu (Sanjaya, 2008: 318) :
a.
Relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup siswa, artinya apa yang
diberikan disekolah harus sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan tutntutan
masyarakat tempat siswa tinggal.
b.
Relevansi pendidikan dengan tuntutan kehidupan siswa baik masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Relevansi ini mengandung pengertian bahwa isi
kurikulum harus mampu menjawab kebutuhan siswa pada masa yang akan datang.
Pendidkan bukan hanya berfungsi untuk mengawetkan kebudayaan masa lalu, akan
tetapi juga untuk mempersiapkan siswa agar kelk dapat hidup menyesuaikan dengan
tuntutan zaman. Oleh karena itu, apa yang diberikan sekolah harus teruji, bahwa
semua itu memiliki guna untuk kehidupan siswa di masa yang akan datang.
c.
Relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Relevansi ini
mengandung pengertian bahwa sekolah memiliki tanggug jawab dalam mempersiapkan
anak didik yang memiliki keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan
dunia kerja. Pendidkan berfungsi untuk mendididk manusia yang produktif, yang
mampu bekerja dalam bidangnya masing-masing. Pada saat ini seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu banyak bidang-bidang
keterampilan yang harus dimiliki anak didik. Dan pada kenyataannya salah satu
kritikan yang muncul kepermukaan dewasa ini adalah bahwa pendidikan kita
dianggap masih sangat lemah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja.
2. Masalah Kualitas Pendidikan
Selain masalah relevansi, maka rendahnya kualitas pendidikan juga
dianggap sebagai suatu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini.
Rendahnya kualitas pendidikan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari
segi proses dan kedua dari segi hasil.
Rendahnya kualitas pendidikan dilihat dari segi proses, adalah anggapan
bahwa selama ini proses pendidikan yang dibangun oleh guru dianggap cenderung
terbatas pada penguasaan materi pelajaran atau bertumpu pada pengembangan aspek
kognitif tingkat rendah, yang tidak mampu mengembangkan kreativitas berpikir
proses pendidikan atau proses belajar mengajar dianggap cenderung menempatkan
siswa sebagai objek yang harus diisi dengan berbagai informasi dan bahan-bahan
hafalan. Komunikasi terjadi satu arah,
yaitu dari guru ke siswa melalui pendekatan ekspositori yang dijadikan alat
utama dalam proses pembelajaran (Sanjaya, 2008: 319).
Dari sisi hasil, rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari tidak
meratanya setiap sekolah dalam mencapai rata-rata Nilai Ujian Nasional (UN). Ada sekolah yang
dapat mencapai rata-rata UN yang tinggi, namun dipihak lain banyak sekolah
yangmencapai UN jauh dibawah standar.
Beberapa usaha yang dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut
diantaranya dengan meningkatkan kualitas guru dan perbaikan kurikulum, serta menyediakan sarana dan prasarana yang
lebih lengkap dan dianggap memadai. Peningkatan kualitas atau mutu guru,
diantaranya dengan meningkatkan latar belakang akademis mereka melalui
pemberian kesempatan untuk mengikuti program-program pendidikan, serta
memberikan penataran-penataran dan pelatihan-pelatihan. Untuk guru SD, SMP dan
SMA misalkan, mereka diharuskan berlatar belakang akademis S1.
3. Masalah Efektivitas dan Efesiensi
Efektivitas berhubungan dengan
tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang didesain oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran, baik tujuan dalam skala yang sempit seperti
tujuan pembelajaran khusus, maupun tujuan dalam skala yang lebih luas, seperti
tujuan kurikuler, tujuaninstitusional dan bahkan tujuan nasional. Dengan
demikian, dalam konteks kurikulum dan pembelajaran suatu program pembelajaran
dikatakan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi manakala program tersebut
dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Misalkan, untuk mencapai tujuan
tertentu, guru memprogramkan 3 bentuk kegiatan belajar mengajar. Manakala
berdasarkan hasil evaluasi setelah dilaksanakan program kegiatan belajar
mengajar itu, tujuan pembelajaran telah dicapai oleh seluruh siswa, maka dapat
dikatakan bahwa program itu memiliki efektivitas yang tinggi. Sebaliknya,
apabila diketahui setelah pelaksanaan proses belajar mengajar, siswa belum
mampu mencapai tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa program
tersebut tidak efektif (Sanjaya, 2008:
320).
Dengan cara yang sama, dapat
dilakukan untuk melihat efektivitas program pendidikan dalam upaya mencapai
tujuan yang lebih luas, misalkan tujuan institusional. Untuk mencapai tujuan
lembaga pendidikan (institusi) tertentu diberikan sejumlah program
ekstrakurikuler. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap lulusan memiliki
kemampuan sesuai dengan tujuan lembaga, maka program pendidikan yang
dilaksanakan dianggap efektif dan sebaliknya manakala lulusan tidak
mencerminkan kemampuan yang diharapkan, program pendidikan yang diselenggarakan
oleh lembaga yang bersangkutan dianggap kurang efektif.
Efesiensi berhubungan dengan jumlah
biaya, waktu dan tenaga yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya,
suatu program pembelajaran dikatan memiliki tingkat efesiensi yang tinggi,
manakala dengan jumalah biaya yang minimal dapat menghasilkan atau dapat
mencapai tujuan yang maksimal. Seblaiknya, program dikatakan tidak efesiensi
apabila biaya dan tenaga yang sangat besar, akan tetapi hasil yang diperoleh
kecil. Sehubungan dengan masalah efesiensi ini, sebaiknya setiap guru membuat
program yang benar-benar dapat menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran.
Sekolah dan guru harus menghindari program-program kegiatan yang banyak
memelurkan biaya, waktu dan tenaga, padahal kegiatan tersebut tidak atau kurang
mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
4. Masalah Daya Tampung yang Terbatas
Masalah lain yang dihadapi dunia
pendidikan kita adalah masalah terbatasnya daya tamping sekolah khususnya pada
tingkat SLTP. Masalah ini muncul setelah keberhasilan penyelenggara SD Inpres,
yang mengakibatkan meledaknya lulusan sekolah dasar, sehingga mununtut
pemerintah untuk menyediakan fasilitas agar dapat menampung para lulusan SD
yang hendak melanjutkan ke SLTP.
Keberhasilan program Inpres ini
juga membawa dampak kepada permasalahan akan banyaknya minat lulusan SD yang
hendak melanjutkan ke SLTP, padahal kondisi geografis, social, ekonomi mereka
yang kurang mendukung, misalkan karena tempat tinggal mereka yang jauh berada
di pedalaman atau pulau-pulau terpencil, atau kemampuan social ekonomi yang
rendah. Untuk memecahkan masalah yang demikian, pemerintah memerlukan
langkah-langkah yang inovatif, yaitu langkah yang dapat menyediakan kesempatan
belajar seluas-luasnya untuk mereka dengan biaya yang rendah tanpa mengurangi
mutu pendidikan (Sanjaya, 2008: 322).
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad dan Joko. (1997). Model Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Gordon, Dryden. (2003). Revolusi
Cara Belajar : The Learning Revolution Bagian I. Bandung: Kaifa.
Iwan, Sugiarto. (2004). Mengoptimalkan Daya Kerja Otak Dengan Berfikir Holistik dan Kreatif.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mulyasa. (2008). Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Bandung: Rosdakarya.
Riyanto, Yatim. (2009). Paradigma Baru
Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Rohani, Ahmad. (2004). Pengelolaan
Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. (2008). Kurikulum dan
Pembelajran. Bandung: Rosdakarya.
Sa’ud, Udin Saefudin. (2008). Inovasi Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Sudiyono. (2004). Manajemen
Pendidikan Tinggi. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tony, Buzan. (2004). Mind Map: Untuk Meningkatkan Kreativitas . Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.