I. KOMPETENSI PEDAGOGIK
A. Pedagogik Secara Teoritis
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen pasal 1 ayat (10) disebutkan, “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru
atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”(UU RI No 14 Tahun 2009:4)
Pedagogik berasal dari bahasa Yunani yakni paedos yang artinya anak laki- laki, dan
agogos yang artinya mengantar,
membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah membantu laki- laki zaman Yunani Kuno
yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya pergi ke sekolah, (Saudagar,
2009: 32).
Menurut Musfah (2011: 31) bahwa:
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan dalam
pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) Pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan; (b) pemahaman tentang peserta didik; (c) pengembangan kurikulum /
silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Menurut Sagala
(2009: 31) bahwa:
Kompetensi pedagogik adalah terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dalam mata
pelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus mata pelajaran berdasarkan
standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD); (3) merencanakan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4)
merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksankan
pembelajaran yang pro- perubahan (aktif,
kreatif, inovatif, eksperimentif, efektif dan menyenangkan); (6) menilai hasil
belajar peserta didik secara otentik; (7) membimbing peserta didik dalam
berbagai aspek, misalnya: pelajaran, kepribadian, bakat, minat, dan karir dan
(8) mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru.
Berdasarkan pengertian diatas, maka kompetensi
pedagogik guru yaitu kemampuan dan keterampilan guru dalam mengelola
pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
B. Pedagogik Secara Praktis
1. Guru sebagai Pendidik
Guru
adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para
peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar
kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan
disiplin, (Mulyasa, 2005:37).
Berkaitan
dengan tanggung jawab; guru harus mengetahui, serta memahami nilai, norma
moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai
dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan
dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai
spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta
memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai
dengan bidang yang dikembangkan, (Mulyasa, 2005:37).
Guru
juga harus mampu mengambil keputusan secara mandiri (independent),
terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan
kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan
lingkungan. Guru harus mampu bertindak dan mengambil keputusan secara cepat,
tepat waktu, dan tepat sasaran, terutama berkaitan dengan masalah pembelajaran
dan peserta didik, tidak menunggu perintah atasan atau kepala sekolah, (Mulyasa,
2005:37).
Sedangkan
disiplin; dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata
terib secara konsisten, atas kesadaran profesional, karena mereka bertugas
untuk mendisiplinkan parapeserta didik di sekolah, terutama dalam pembelajaran.
Oleh karena itu, dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya
sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya, (Mulyasa, 2005:38).
2. Guru sebagai Pengajar
Sejak
adanya kehidupan, sejak itu Pula guru telah melaksanakan pembelajaran, dan
memang hal tersebut merupakan tugas dan tanggung jawabnya yang pertama dan
utama. Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari
sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi
standar yang dipelajari, (Mulyasa, 2005:38).
Berkembangnya
teknologi, khususnya teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya,
belum mampu menggantikan peran dan fungsi guru, hanya sedikit menggeser atau
mengubah fungsinya, itupun terjadi di kota-kota besar saja, ketika para
peserta didik memiliki berbagai sumber belajar di rumahnya.
Perkembangan
teknologi mengubah peran guru dari pengajar yang bertugas menyampaikan materi
pembelajaran menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar.
Hal ini dimungkinkan karena perkembangan teknologi menimbulkan banyaknya buku
dengan harga relatif murah, kecuali atas ulah guru. Di samping itu, peserta
didik dapat belajar dari berbagai sumber seperti radio, televisi, berbagai
macam film pembelajaran, bahkan program internet atau electronic learning
(e-learning), (Mulyasa. 2005:38).
Kegiatan
belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi,
kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat
kebebasan, rasa aman, dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika
faktor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat
belajar dengan baik. Sehubungan dengan itu, sebagai orang yang bertugas
menjelaskan sesuatu, guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi
peserta didik, dan berusaha lebih terampil dalam memecahkan masalah, (Mulyasa,
2005:37).
3. Guru sebagai Pelatih
Proses
pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual
maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini
lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena
tanpa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi
dasar, dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan
sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru harus berperan sebagai
pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi
dasar, sesuai dengan potensi masing-masing, (Mulyasa, 2005:42).
Pelatihan
yang dilakukan, di samping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi
standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik, dan
lingkungannya. Untuk itu, guru harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua
hal, dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin.
Benar bahwa guru tidak dapat mengetahui sebanyak yang harus diketahui, tetapi
dibanding orang yang belajar bersamanya dalam bidang tertentu yang menjadi
tangung jawabnya, ia harus lebih banyak tahu. Meskipun demikian, tidak
mustahil kalau suatu ketika menghadapi kenyataan bahwa guru tidak tahu tentang
sesuatu yang seharusnya tahu. Dalam keadaan demikian, guru harus berani berkata
jujur, dan berkata, “saya tidak tahu”. Kebenaran adalah sesuatu yang amat
mulia, namun jika guru terlalu banyak berkata “saya tidak tahu” maka bukanlah
guru profesional. Untuk itu guru harus selalu belajar, belajar sepanjang hayat,
dan belajar adalah sesuatu yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, (Mulyasa,
2005:42-45).
Pelaksanaan
fungsi ini tidak harus mengalahkan fungsi lain, ia tetap sadar bahwa walaupun
tahu, tidak harus memberitahukan semua yang diketahuinya. Secara didaktis, guru
menciptakan situasi agar peserta didik berusaha menemukan sendiri apa yang
seharusnya diketahui. Guru harus bisa menahan emosinya untuk menjawab semua
pertanyaan yang ditujukan kepadanya, sehingga kewenangan yang dimiliki tidak
membunuh kreativitas peserta didik, (Mulyasa, 2005:43).
4. Guru sebagai Pembaharu (Innovator)
Guru
menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi
peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara
generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua
memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang
belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang
harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Guru harus
menjembatani jurang ini bagi peserta didik, jika tidak, maka hal ini dapat
mengambil bagian dalam proses belajar yang berakibat tidak menggunakan potensi
yang dimilikinya. Tugas guru adalah memahami bagaimana keadaan jurang pemisah
ini, dan bagaimana menjembataninya secara efektif , (Mulyasa, 2005:44).
Prinsip
modernisasi tidak hanya diwujudkan dalam bentuk bukubuku sebagai alat utama
pendidikan, melainkan dalam semua rekaman tentang pengalaman manusia. Tugas
guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini ke dalam istilah
atau bahasa modern yang akan diterima oleh peserta didik. Pada kenyataannya,
semua pikiran manusia harus dikemukakan kembali di setiap generasi oleh para
guru yang tentu saja dengan berbagai perbedaan yang dimiliki secara individual,
termasuk siapa saja yang berminat untuk menulis. Memang dalam beberapa hal
berlaku apa yang dikatakan oleh para pendeta kuno “There is nothing news
under the sun” (tidak ada barang baru di bawah matahari), tetapi guru dan
penulis bisa berbesar hati berdasar kenyataan bahwa pikiran-pikiran atau
dalil-dalil lama dapat diletakkan dalam model baru, pakaian baru dan dalam
proses ini semuanya akan tampak baru. Sekurang-kurangnya menjadi baru bagi
peserta didik, dan bagi para pendengar. Oleh karena itu, sebagai jembatan antara
generasi tua dan generasi muda, yang juga sebagai penerjemah pengalaman, guru
harus menjadi pribadi yang terdidik, (Mulyasa, 2005:45).
5. Guru sebagai Pendorong Kreativitas
Kreativitas
merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk
mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas
merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia
kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan
sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau
adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu, (Mulyasa, 2005:
51).
Sebagai
orang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreativitas merupakan yang universal
dan oleh karenanya semua kegiatannya ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh
kesadaran itu. Ia sendiri adalah seorang kreator dan motivator, yang berada di
pusat prosespendidikan. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk
menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta
didik akan menilainya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu
secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik
dari yang telah dikerjakan sebelumnya dan apa yang dikerjakan di masa mendatang
lebih baik dari sekarang, (Mulyasa, 2005: 51-52).
6. Guru sebagai Kulminator
Belajar
di ruang kelas tidak bersifat insidental, melainkan terencana, artifisial, dan
sangat selektif. Guru harus mampu menghentikan kegiatannya pada suatu unit tertentu
dan kemudian maju ke unit berikutnya. Untuk itu diperlukan kemampuan
menciptakan suatu kulminasi pada unit tertentu dari suatu kegiatan belajar.
Kemampuan ini nampak dalam bentuk menutup pembelajaran, menarik atau membuat
kesimpulan bersama peserta didik, melaksanakan penilaian, mengadakan kenaikan
kelas, dan mengadakan karya wisata, (Mulyasa, 2005:64).
Guru
adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga
akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap
kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui
kemajuanbelajarnya. Di sini peran sebagai kulminator terpadu dengan peran
sebagai evaluator, (Mulyasa, 2005:64).
Melalui rancangannya, guru mengembangkan
tujuan yang akan dicapai dan akan dimunculkan dalam tahap kulminasi. Dia
mengembangkan rasa tanggung jawab, mengembangkan keteramplan fisik dan
kemampuan intelektual yang telah dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
melalui kurikulum. Benarkah kemampuan-kemampuan yang dikembangkan itu bisa
muncul dalam tahap kulminasi? Tugas guru untuk menjawabnya melalui pengamatan
terhadap pelaksanaan tahap kulminasi oleh sang kulminator, (Mulyasa, 2005:45).
II. KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU
Menurut Irfan (2012: 28) Kompetensi kepribadian diartikan
sebagai kemampuan yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa yang akan
menjadi teladan bagi peserta didik serta berahlak mulia.
Kepribadian guru memang harus mencerminkan sikap
yang baik seprti stabil dan menjadi teladan karena akan ditiru oleh peserta
didiknya di sekolah, sehingga jika guru berkepribadian baik akan memiliki murid
yang baik pula maka sebalinya jika guru itu bersikap jelek maka muridnya pun
kemungkinan akan bersifat jelek pula.
Berikut ini dijelaskan beberapa kompetensi kepribadian
guru yaitu sebagai berikut:
A. Berakhlak Mulia
Menurut BSNP (dalam Musfah, 2011: 43) Berakhlak mulia, “ Pendidikan Nasional
yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.” Arahan Pendidikan nasional ini hanya
mungkin terwujud jika guru memiliki akhlak mulia, sebab murid adalah cermin
dari gurunya.
Sulit mencetak siswa yang saleh jika gurunya tidak
saleh. Selain guru, untuk melahirkan siswa yang saleh, perlu dukungan: pertama,
komunitas sekolah yang saleh (pimpinan dan staf). Kedua, budaya sekolah yang
saleh, seperti disiplin, demokratis, adil, jujur, syukur, dan amanah. Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Thabrani
dan Ibnu Amr menunjukknan bahwa, “Seorang mukmin yang paling utama imannya
adalah yang paling baik akhlaknya.”, ( Musfah, 2011: 31).
Mengapa guru harus seorang yang berakhlak mulia atau
berkarakter yang baik? Karena diantara tugas yang amat pokok seorang guru ialah
memperkukuhkan daya positif yang dimiliki siswa agar mencapai tingkatan
perbuatan ketuhanan (af’al ilahiyyat)-
meminjam istilah Ibn Miskawih, ( Musfah, 2011: 31)
B. Dewasa
Menurut Mulyasa (dalam Musfah, 2011: 31) bahwa: “Guru
harus memiliki standar kulalitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab,
wibawa, mandiri dan disiplin. Menurut Mulyasa ( dalam Musfah, 2011: 31) minimal
ada tiga ciri kedewasaan antara lain:
Pertama, orang
yang telah dewasa memilki tujuan dan pedoman hidup, sekumpulan nilai yang ia
yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Kedua, orang dewasa adalah orang yang
mampu melihat segala sesuatu secara objektif. Tidak banyak dipengaruhi oleh
subjektivitas dirinya
C. Arif dan Bijaksana
Menurut Husain dan Ashraf (dalam Musfah, 2011: 46)
bahwa: “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia pembelajar tetapi menjadi
pribadi bijak, seorang saleh yang dapat memengaruhi pikiran generasi muda.”
Seorang guru todak boleh sombong dengan ilmunya, karena merasa paling
mengetahui dan terampil dibanding guru yang lainnya, sehingga menganggap remeh
dan rendah rekan sejawatnya. Allah SWT mengingatkan orang- orang yang sombong
dengan firmannya:
“...kami
tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap- tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (QS:Yusuf:76)
Sepintar dan
seluas apapun pengetahuan manusia, tidak akan mampu menandingi keluasan Allah
SWT, dengan ilmu sesama manusia pun, pasti ada yang lebih tinggi dan luas lagi.
Masalahnya, manusia kadang memilki sifat sombong.
D. Menjadi Teladan
Menurut Mulyasa (dalam Musfah, 2011: 47) “Pribadi guru
sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat dimaklumi
karena manusia merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk mencontoh
pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya.” Secara teoritis, menjadi teladan
merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti
menerima tanggung jawab menjadi teladan.
Rasulullah SAW adalah teladan utama bagi kaum
muslimin. (QS. Al- Ahzab:21). Ia
teladan dalam keberanian, konsisten dalam kebenaran, pemaaf, rendah hati dalam
pergaulan dengan tetangga, sahabat dan keluarganya.
E. Evaluasi Diri
Pengalaman adalah guru terbaik (experience is the best teacher). Pengalaman merupakan modal besar
guru untuk meningkatkan mengajar di kelas. Pengalaman di kelas memberikan
wawasan bagi guru untuk memahami karakter anak- anak, dan bagaimana cara
terbaik untuk menghadapi keragaman tersebut. Guru jadi tahu metode apa yang
terbaik bagi mata pelajaran apa, karena pernah mencobanaya berkali- kali, (Musfah,
2011: 48)
Menurut Ajami (dalam Musfah, 2011: 48) Tujuan
evaluasi kinerja diri adalah untuk memperbaiki proses pembelajaran di masa
mendatang. Umar bin Utbah berkata kepada guru anaknya: “Hal pertama yang harus anda lakukan dalam mendidik anakku adalah
memperbaiki dirimu sendiri, karena matanya melihatmu. Kebaikan baginya adalah
apa yang kau lakukan, dan keburukan adalah apa yang kau tinggalkan.”
Guru dapat mengetahui mutu pengajarnya dari respons
dan/ atau umpan balik yang diberikan para siswa saat pembelajaran berlangsung
atau setelahnya, baik di dalam maupun luar kelas. Guru dapat menggunakan umpan balik tersebut sebagai bhan evaluasi kinerjanya.
Guru belajar dari respons murid. Oleh karena itu, guru harus berjiwa terbuka;
tidak anti kritik. Guru siap menerima saran dari kepala sekolah, rekan sejawat,
tenaga kependidikan, termasuk dari para siswa.
Hasil ujian siswa juga dapat dijadikan ukuran
keberhasilan guru dalam mengajar di kelas. Jika lebih dari 60 persen siswa
mampu menjawab soal ujian, berarti guru berhasil dalam pengajarannya. Guru
harus meninjau ulang caranya mengajar jika hasil ujian menunjukkan kegagalan di
atas 60 persen. Kesuksesan guru mengajar dapat dilihat dari kemampuan para
murid menguasai materi pelajaran untuk tidak melupakan aspek afektif dan
keterampilan siswa, (Musfah, 2011:48-49)
F. Mengembangkan Diri
Di antara sifat yang harus dimiliki guru ialah
pembelajaran yang baik atau pembelajaran yang baik atau pembelajaran mandiri,
yaitu semangat yang besar untuk menuntut ilmu. Sebagai contoh kecil yaitu
kegemarannya membaca dan berlatih keterampilan yang dapat menunjang profesinya
sebagai pendidik. Berkembang dan bertumbuh hanya dapat terjadi jika guru mampu
konsisten sebagai pembelajar mandiri, yang cerdas memanfaatkan fasilitas
pendidikan yang ada di sekolah dan lingkungannya.
Menurut Husain dan Ashraf (dalam Musfah, 2011: 49)
mengutip pendapat Hossein Nasr, Baloch, Aroosi, dan Badawi terkait dengan
eksistensi dan peran guru:
Pertama, poros
utama sistem pendidikan adalah guru; kedua,
guru tidak hanya menjadi manusia pembelajar (man of learning) namun juga harus menjadi manusia yang bermoral
tinggi; ketiga, dia harus menjadi manusia
yang mampu menginspirasi orang lain untuk antusias pada moral dan etika yang
dia katakan dan juga ia contohkan; keempat,
dia harus menjadi orang yang mengajarkan
keyakinannya. Tidak boleh ada kontradiksi antara apa yang di ajarkan dan
keyakinan pribadinya.
G. Religius
Kompetensi kepribadian yaitu religius atau
religiositas kaitannya erat dengan akhlak mulia dan kepribadian seorang muslim.
Akhlak mulia timbul karena seseorang percaya pada Allah sebagai pencipta yang
memilki nama- nama baik (asmaul husna)
dan sifat yang terpuji. Budi pekerti yang baik tumbuh subur dalam pribadi yang
khusyuk dalam menjalankan ibadah vertikal dan horizontal. Pribadi yang selalu
menghayati ritual ibadah dan mengingat Allah akan meliharkan sikap terpuji.
Dikatakan: carilah guru yang baik agamanya untuk
mengajar anak- anak, karena agama anak tergantung pada agama gurunya. Menurut
Whitehead (dalam Musfah, 2011: 50) menulis
bahwa, “ Esensi Pendidikan adalah menjadikan orang yang religius.” Menurut Al-
Nahlawi (dalam Musfah, 2011: 50) bahwa “Seorang pendidik muslim harus memilki
sifat sifat” berikut ini:
1.
Pengabdi Allah. Tujuan, sikap, dan
pemikirannya untuk mengabdi pada Allah, seperti dijelaskan dalam QS. Ali Imran : 79, “Hendaklah kamu menjadi orang- orang yang
rabbani, karena kamu selalu mengajarkannya Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinnya.”
2.
Ikhlas. Tujuannya menyebarkan ilmu hanya
semata mencari keridhaan Allah SWT.
3.
Sabar dalam menyampaikan pembelajaran
kepda para siswa, karena belajar perlu pengulangan, menggunakan berbagai
metode, dan biasanya peserta didik putus asa untuk menguasai pelajaran.
4.
Jujur. Tanda kejujuran adalah guru
menjalankan apa yang dikatakannya pada siswa. Allah mencela orang- orang mukmin
yang tidak jujur pada apa yang mereka katakan, “Wahai orang- orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?(2); Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa- apa yang tidak kamu kerjakan (3).”(QS.ash- Shaf : 2-3)
Menurut Al- Zarnuji (dalam Musfah, 2011: 50), “Seseorang
guru harus seorang pembelajar, saleh, dan berpengalaman.” Guru pembelajar akan
memberikan ilmu yang luas, yang dibutuhkan siswa. Guru yang saleh akan menjaga
sisiwanya, tidak hanya dalam aspek teknis kehidupan akademis, tetapi juga
kehidupan religiusnya. Guru harus berpengalaman. Ini menunjukkan bahwa belajar
mencakup proses bebagai pengalaman.
Sia- sia seorang guru mengajarkan kebaikan jika ia
sendiri bukan sosok pribadi yang baik. Pribadi guru yang baik, mengajar dan
mendidik dengan perkataan dan perilakunnya di hadapan murid, disengaja maupun
tidak disengaja. Disadari ataupun tidak, peserta didik selalu belajar dari
figur guru dan orang- orang yang dianggapnya baik. Dengan demikian, harus ada
banyak sosok guru, kepala sekolah, orang tua, yang benar baik dan saleh,
sehingga mereka selalu belajar nilai- nilai dan perilaku dari sebanyak mungkin
figur. Anak- anak membutuhkan contoh nyata tentang apa itu yang baik melalui
sikap dan perilaku orang dewasa. Hal ini lebih mudah dan efektif bagi anak-
anak dibanding sekedar ucapan dan/ atau tulisan.
III. KOMPETENSI SOSIAL GURU
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris competency
yang berarti kecakapan, kemampuan dan wewenang. Seseorang dinyatakan kompeten
di bidang tertentu jika menguasai kecakapan bekerja pada satu bidang
tertentu. Secara nyata orang yang
kompeten mampu bekerja di bidangnya secara efektif- efisien, (Samana, 2003:
42)
Kompetensi sosial seorang guru berarti kemampuan guru untuk memahami dirinya sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan mampu mengembangkan tugas
sebagai anggota masyarakat dan warga Negara. Lebih dalam lagi kemampuan sosial
ini mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan
lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 salah satu kewajiban dari seorang pendidik
adalah member teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Kompetensi sosial dalam
kegiatan belajar ini berkaitan erat dengan kemampuan guru dalam bekomunikasi
dengan masyarakat di sekitar sekolah dan masyarakat tempat guru tinggal
sehingga peranan dan cara guru berkomunikasi di masyarakat diharapkan memiliki
karakteristik tersendiri yang sedikit banyak berbeda dengan orang lain yang
bukan guru.
Menurut Ross-Krasnor
(dalam Denham, 2003: 238-256) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai
keefektifan dalam berinteraksi, hasil dari perilaku-perilaku teratur yang
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada masa perkembangan dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Bagi anak pra sekolah, perilaku yang menunjukkan
kompetensi sosial berkisar pada tugas-tugas utama perkembangan yaitu menjalin
ikatan positif dan self regulations selama berinteraksi dengan teman sebaya.
Dalam pandangan teoritis kompetensi sosial, terdapat dua fokus
pengukuran yaitu pada diri atau orang lain, dalam hal ini adalah mengukur
kesuksesan anak dalam memenuhi tujuan pribadi atau hubungan interpersonal anak.
Jadi kompetensi sosial adalah kemampuan yang memiliki
hubungan yang erat dengan penyesuaian sosial dan kualitas interaksi antar
pribadi guna untuk kebutuhan-kebutuhan pada masa perkembangan dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang.
Dalam proses memahami interaksi (komunikasi) dapat
dibagi menjadi dua bagian model, yaitu:
A.
Intrapersonal
Communication Skill (kemampuan komunikasi dengan diri sendiri)
Intrapersonal Communication Skill adalah komunikasi kedalam diri sendiri
(pengenalan jati diri) misalnya melalui meditasi, pengenalan hati nurani,
kehendak bebas, dan imajinasi kreatif, dan lain lain. Proses komunikasi
intrapersonal masuk melalui proses stimulus kedalam pikiran bawah sadar
manusia.
Stimulus (pengaruh) kedalam pikiran manusia melalui
dua cara yaitu:
1. Stimulus ke pikiran sadar masuk dan melalui
pancaindra: telinga (aspek pendengaran), mata (aspek penglihatan), mulut
(aspek rasa), hidung (aspek penciuman), kulit (aspek peraba). Dari pengalaman
stimulus ini manusia dapat mengenal sesuatu dan dapat berkomunikasi secara
sadar.
2. Stimulus ke pikiran bawah sadar melalui kata-kata yang
masuk secara tidak sadar kemudian tampil dalam bentuk bahasa gambar. Deepak
Chopra dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa manusia akan mendapat
stimulus kata-kata kedalam bawah sadarnya sebesar 55.000 sampai 60.000 kata per
harinya. Sayangnya, sebagian besar 77 % kata-kata bersifat negatif tanpa
mempertimbangkan latar belakang seseorang dari suku (budaya), agama, ras,
status sosial atau golongan. Jadi, stimulus negatif sangat merugikan seseorang
jika tidak mampu mengendalikannya.
Dampak dari kata-kata negatif yang masuk kedalam bawah sadar, akan merusak
percaya diri, konsep diri, citra diri seseorang. Dampak lebih jauh dari manusia
tersebut adalah terkena penjara mental (mental blocking). Ciri-ciri seseorang
terkena penjara mental, yaitu prasangka buruk (visualisasi negatif), kata-kata
negatif terhadap diri sendiri dan pihak lain, banyak alasan, ketakutan,
perasaan bersalah, kemalasan, rendah diri, dan lain lain.
Sudah dapat dibayangkan, jika mental blocking terjadi pada seseorang maka
dampaknya akan merusak sistim komunikasi intrapersonal (komunikasi ke dalam
dirinya). Akhirnya akan mengalami banyak hambatan, bahkan kesulitan dalam
berkomunikasi secara interpersonal (berkomunikasi dengan pihak lain). Sudah
dipastikan seseorang yang tidak mampu berkomunikasi secara interpersonal akan
sulit mencapai tujuan hasil akhir dari komunikasi.
Cara efektif mencegah dan keluar dari belenggu penjara mental agar
komunikasi kedalam diri sendiri menjadi lebih baik adalah kemampuan mengelola
setiap stimulus negatif (self talk negatif) yang masuk kedalam pikiran manusia,
misalnya:
a. Pendekatan Spiritual
Pendekatan
spiritual melalui doa yang tidak terputus, mengucapkan ayat-ayat suci saat
diwaktu senggang (terencana), menyanyikan lagu-lagu rohani, meditasi dengan
tujuan mengendalikan pikiran dengan menyetop kata-kata yang masuk kedalam
pikiran dan lain lain.
b. Afirmasi (self
talk) positif
Gunakan
kata-kata positif setiap berbicara dengan diri sendiri (self-talk) mulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur. Bahkan
kata-kata positif kedalam diri dapat dijadikan sebagai bentuk doa aktif.
Misalnya, “Setiap hari tubuh saya semakin sehat dan bugar, rejeki
melimpah kedalam hidup saya”; “Tidak ada kata gagal yang ada proses belajar”,
“Persoalan hidup, membuat saya semakin dewasa”; “Setiap orang yang saya temui
adalah sahabat, membuat hidup saya lebih baik” dan lain- lain.
c. Visualiasi positif
Imajinasikan
gambar-gambar positif dalam pikiran kita. Lawan dengan cara mengganti setiap
gambar atau imajinasi negatif yang muncul dalam pikiran kita.
d. Kemampuan Pengalihan (Switching Technique)
Banyak yang
dapat digunakan sebagai teknik pengalihan, yaitu gerakan atau pindah posisi
tubuh Anda sehingga sudut pandang berubah (olah raga, jogging, refreshing,
nonton film, dengar musik, melukis, menulis), teknik olah nafas, teknik jepret
dengan karet gelang, teknik cubit, dan lain- lain.
Dengan demikian, setelah kita mampu mengendalikan
pengaruh stimulus kata negatif (77% dari jumlah 60.000 kata per harinya)
kedalam pikiran dengan cara-cara pengendalian tersebut diatas maka diharapkan
kita dapat berkomunikasi interpersonal secara efektif, (Alvonco, 2012:
http//johson-alvanco.blogspot.com/2012/01/komunikasi-intrapersonal-interpersonal.html).
B.
Interpersonal
Communication Skill (kemampuan komunikasi dengan pihak lain)
Interpersonal
Communication Skill adalah interaksi tatap muka antar dua atau
beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan
penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula, (Mangunhardjana,
2003: 85)
Menurut De Vito (dalam A.Liliweri 1997: 13) ”komunikasi interpersonal memiliki lima ciri-ciri,
yaitu: keterbukaan. Empati, dukungan, kepositifan atau rasa positif dan
kesamaan”.
1. Keterbukaan
Untuk menunjukkan kualitas keterbukaan dari komunikasi interpersonal ini
paling sedikit ada dua aspek yakni aspek keinginan untuk terbuka bagi setiap
orang yang berinteraksi dengan orang lain dan keinginan untuk menanggapi secara
jujur semua stimuli yang datang kepadanya. Menurut Depdikbud (1995:151) “keterbukaan adalah kemampuan seseorang
untuk bersifat tidak tertutup terhadap perasaan”. Keterbukaan ini mengacu
kepada tiga aspek komunikasi interpersonal yakni menciptakan sifat terbuka
kepada semua orang yang berinteraksi secara jujur dalam melakukan komunikasi
dan mengacu pada perasaan kepribadian serta pemikiran untuk rasa keingintahuan
terhadap orang lain
2. Empati
Dengan empati dimaksudkan untuk merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh
orang lain suatu perasaan bersama yakni mencoba merasakan dalam cara yang sama
dengan perasaan orang lain. Menurut de vito (1986:70) “empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengendalikan apa yang dialami orang lain pada moment-moment tertentu”. Untuk
dapat menimbulkan empati pada diri seseorang adalah dengan merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain. Sedangkan untuk menimbulkan rasa simpati dapat
dilakukan dengan cara menolong orang lain dan merasakan apa yang dirasakan
orang lain serta adanya kemauan untuk meminta maaf dalam upaya menimbulkan
simpati.
3. Dukungan
Dukungan adakalanya terucap dan adakalanya tidak terucap. Dukungan yang
tidak terucap tidaklah mempunyai nilai yang negatif, melainkan merupakan aspek
positif dari komunikasi
4. Kepositifan/ rasa positif
Dalam komunikasi interpersonal, kualitas ini paling sedikit terdapat tiga
aspek perbedaan atau unsur. Pertama, komunikasi interpersonal akan berhasil
jika terdapat perhatian yang positif terhadap diri seseorang. Kedua, komunikasi
interpersonal akan terpelihara baik jika perasaan positif terdapat orang lain
dikomunikasikan. Ketiga, suatu perasaan positif dalam situasi komunikasi umum
amat bermanfaat untuk mengefektifkan kerja sama. Menurut Depdikbud (1995:83) “berfikir positif adalah
berfikir akan kebenaran pasti dan terbukti”. Seseorang berperilaku positif
dalam berkomunikasi interpersonal akan terlibat dari adanya pemikiran
positif pada kepribadian dan menilai kepribadian orang lain secara
positif pula serta juga dapat merasakan suatu naluri dalam berkomunikasi dengan
orang lain.
5. Kesamaan
Ini merupakan karakteristik yang istimewa, karena kenyataannya manusia
tidak ada yang sama. Komunikasi interpersonal akan efektif jika orang-orang
yang berkomunikasi itu terdapat kesamaan. Menurut Depdikbud
(1995:100) “persamaan adalah suatu keadaan yang menghapuskan kedua belah pihak
tidak berbeda atau tidak berlainan”. Komunikasi interpersonal akan efektif bila
dalam membina hubungan antar pribadi terjadi kondisi dimana seseorang memiliki
kesamaan keribadiannya tidak bisa berkomunikasi. Jadi persamaan berarti
kemauan menerima dan membuktikan adanya perbedaan seseorang dengan
mencari persamaan mereka.
Dengan demikian jika kita mampu
mengendalikan atau mengontrol ciri-ciri Interpersonal
communication skill atau komunikasi
dengan pihak lain maka kita akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan secara
langsung dan penerima pesan juga dapat
menerima dan menanggapi secara langsung pula.
Jadi komunikasi intrapersoal dan
interpersonal saling berkaitan dan berhubungan sangat kuat sehingga
mempengaruhi kualitas seseorang dalam berkomunikasi. Contohnya, jika kita
berbicara dan berpikir negatif dengan diri sendiri tentang seseorang (misalnya,
pimpinan, pasangan hidup, rekan, dll) dalam bentuk prasangka buruk maka
kemungkinan besar seseorang akan kehilangan rasa nyaman saat berkomunikasi dengan
orang tersebut.
Dari contoh tersebut diatas, sudah
dapat dipastikan komunikasi secara interpersonal menjadi tidak efektif manakala
gagal dalam mengendalikan komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal). Jika
dikembangkan lebih jauh dalam setiap proses komunikasi antara intrapersonal dan
interpersonal, akan semakin jelas hubungan saling keterkaitan antara proses
komunikasi dan pikiran manusia.
IV. KOMPETENSI PROFESIONAL SUATU
KETERAMPILAN MENDESAIN KURIKULUM
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 bahwa Profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian atau kecakapan yang memenuhi
mutu atau norma tertentu serta pendidikan profesi, (Rusmana, 2010: 17).
Menurut Uzer Usman 1992 (dalam Rusmana, 2010: 17)
bahwa Profesional adalah suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan
beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian
diaplikasikan bagi kepentingan umum.
Jadi profesional adalah suatu pekerjaan yang
bersifat profesional dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum.
Berikut ini dijelaskan beberapa kompetensi
profesional guru dalam suatu keterampilan dalam mendesain kurikulum diantaranya:
A. Pemahaman tentang Kebutuhan Peserta
Didik
Untuk memperlancar belajar siswa adalah dengan
memenuhi kebutuhan belajarnya. Ada kebutuhan siswa yang dapat disediakan oleh
orang tua tetapi ada juga yang harus disediakan oleh sekolah. Hal yang perlu disediakan
sekolah untuk memenuhi kebutuhan siswa di sekolah antara lain adalah buku
pelajaran, alat- alat olahraga, ruangan belajar yang bersih dan sehat,
perpustakaan yang memadai, Laboratorium
yang fungsional (dapat dipakai bukan hanya pajangan), sarana bermain
yang memadai, alat kesenian sesuai kebutuhan, tempat beribadah yang bersih,
jamban yang bersih dan sehat, tempat parkir yang teratur dan sehat semacamnya.
Untuk memenuhi kriteria dan kebutuhan siswa memang mahal, karena diperlukan
dukungan dan SDM yang mengurusnya. Karena faktor mutu merupakan faktor utama
dalam menentukan perbedaan antara masyarakat terbelakang dan masyarakat maju,
maka investasi untuk keperluan pendidikan dan sekolah amat diperlukan sebagai
prioritas, karenanya kepala sekolah harus dapat menghitung tiap item kebutuhan
dan mengalokasikan anggarannya, kemudian mengajar strategi untuk pemenuhnya ,(Sagala,
2006: 140).
Dengan demikian, selain kebutuhan yang disediakan
oleh sekolah ada juga kebutuhan yang disediakan oleh orang tua diantaranya
rumah yang aman, materi (uang) yang cukup (sesuai kebutuhan) dan kasih sayang
orang tua yang lengkap. Jika kedua kebutuhan tersebut terpenuhi maka peserta
didik dalam menjalankan proses pendidikannya akan sukses.
B. Pemahaman tentang Potensi Peserta Didik
Untuk mengidentifikasi potensi peserta didik dapat
dikenali dari ciri- ciri (indikator) keberbakatan peserta didik dan
kecenderungan minat/ profesi/ jabatan. Ada tiga kelompok ciri keberbakatan
yaitu:
1.
Kemampuan umum yang tergolong di atas
rata- rata (above averagae ability)
Kemampuan ini merujuk pada kenyataan, antara lain bahwa peserta didik
berbakat memiliki perbendaharaan kata- kata yang lebih banyak dan lebih maju
dibandingkan peserta didik biasa; cepat menangkap hubungan sebab akibat; cepat
memahami prinsip dasar dari suatu konsep; seorang pengamat yang tekun dan
waspada; mengingat dengan tepat serta memiliki informasi aktual; selalu
bertanya- tanya; cepat sampai pada kesimpulan yang tepat mengenai kejadian,
fakta, orang atau benda.
2.
Kreativitas (Creativity) tergolong tinggi
Kreativitas menunjukkan rasa ingin tahu yang luar biasa; menciptakan
berbagai ragam dan jumlah gagasan guna memecahkan persoalan; sering mengajukan
tanggapan yang unik dan pintar; tidak terhambat mengemukakan pendapat; berani
mengambil resiko; suka mencoba; peka terhadap keindahan dan segi- segi estetika
dari lingkungannya.
3.
Komitmen terhadap tugas (task commitment)
Komitmen terhadap tugas sering dikaitkan dengan motivasi intrinsik untuk
berprestasi, ciri- cirinya mudah terbenam dan benar- benar terlibat dalam suatu
tugas; sangat tangguh dan ulet menyelesaikan masalah; bosan menghadapi tugas
rutin; mendambakan dan mengajar hasil sempurna; lebih suka bekerja secara
mandiri; sangat terikat pada nilai- nilai baik dan menjauhi, (Depdiknas, 2004:
16).
C. Penguasaan Memilih Sumber dan Bahan Ajar
Untuk mensukseskan kurikulum
2004 berbagai cara dapat ditempuh. Penentuan bahan ajar merupakan salah satu
wujudnya. Sumber bahan adalah rujukan, referensi atau literatur yang digunakan,
baik untuk menyusun silabus maupun buku yang digunakan guru dalam mengajar. Sumber
bahan ini diperlukan agar dalam menyusun silabus terhindar dari kesalahan
konsep. Disamping itu pula, dengan
mencantumkan sumber bacaan, kita akan terhindar dari perbuatan meniru/ menjiplak
karya orang lain (plagiat), (Majid, 2007: 59).
Proses belajar dapat
ditingkatkan apabila bahan ajar atau tatacara yang akan dipelajari tersusun
dalam urutan yang bermakna. Kemudian, bahan tersebut harus disajikan pada siswa
dalam beberapa bagian, banyak sedikitnya bagian tergantung urutan, kerumitan
dan kesulitannya. Susunan dan tatacara ini dapat membantu siswa dalam
menggabungkan dan memadukan pengetahuan atau proes pribadi, (Hamzah, 2007: 44).
Dengan demikian, penguasaan bahan
ajar tentunya terkait dengan isi mata pelajaran yang diasuh oleh guru. Namun
demikian perlu dipahami bahwa guru tidak cukup menguasai materi ajar seperti
yang tercantum dalam kurikulum sekolah, tettapi juga materi “di atasnya” yang
menjadi payung materi yang bersangkutan.
D. Penguasaan Perencanaan Kurikulum
1. Mengembangkan Silabus
Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran dengan tema
tertentu, yang mencangkup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang di
kembangkan oleh setiap satuan pendidikan, sebagai penjabaran standar kompetensi
dan kompetensi dasar ke dalam materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian hasil belajar, (Mulyasa, 2006:
183).
Berikut ini merupakan tatacara dalam mengembangkan silabus
yaitu:
a.
Menetapkan tujuan pembelajaran
1)
Mengkaji ciri- ciri pembelajaran
2)
Dapat merumuskan tujuan pembelajaran
3)
Menetapkan tujuan pembelajaran untuk
satu satuan pembelajaran/ poko bahasan
b.
Memilih dan mengembangkan bahan
pembelajaran
1)
Dapat memilih bahan pembelajaran sesuai
dengan pembelajaran yang ingin dicapai
2)
Mengembangkan bahan pembelajaran sesuai
dengan pembelajaran tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
c.
Memilih dan mengembangkan strategi
belajar mengajar
1)
Mengkaji berbagai metode mengajar
2)
Dapat memilih metode mengajar yang tepat
3)
Merancang prosedur belajar mengajar yang
tepat
d.
Memilih dan mengembangkan media
pengajaran yang sesuai
1)
Mengkaji berbagai media pengajaran
2)
Memilih media pengajaran yang tepat
3)
Membuat mediaa pengajaran yang sederhana
4)
Menggunkan media pengajaran
e.
Memilih dan memanfaatkan sumber belajar
1)
Mengkaji berbagai jenis dan kegunaan
sumber belajar
2)
Memanfaatkan sumber belajar yang tepat.
1. Pembuatan RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dijabarkan
dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai
kompetensi dasar. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran secara lengakap dan sistematis agar pembelajaran
berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kretivitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran disusun untuk setiap kompetensi dasar yang dapat dilaksanakan
dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan
di satuan pendidikan, (Rusmana, 2010: 5).
Komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yaitu:
a.
Identitas Mata Pelajaran
Meliputi satuan pendidikan, kelas, semester, program/
keahlian, mata pelajaran atau tema pelajaran, serta jumlah pertemuan, (Rusmana,
2010: 5).
b.
Standar Kompetensi
Merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik
yang mengambarkan penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/
atau semester pada suatu mata pelajaran, (Rusmana, 2010:5-6).
c.
Kompetensi Dasar
Adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai pserta
didik dalam mata pelajaran tertentu
sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran, (Rusmana,
2010: 6).
d.
Indikator dan Pencapaian Kompetensi
Adalah prilaku yang
dapat diukur dan/ atau diobservasi untuk menunjukan ketercapaian
kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan mata pelajaran, dirumuskan dengan
kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan,
sikap dan keterampilan, (Rusmana, 2010: 6).
e.
Tujuan Pembelajaran
Mengambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan
dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar, (Rusmana, 2010: 6).
f.
Materi Ajar
Memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan
dan ditulis dalam bentuk butir- butir sesuai dengan rumusan indikator
pencapaian kompetensi, (Rusmana, 2010:
6).
g.
Alokasi Waktu
Ditentukan sesuai
dengan keperluan untuk pencapaian kompetensi dasar dan beban belajar, (Rusmana,
2010: 6).
h.
Metode Pembelajaran
Digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau
seperangkat indikator yang telah ditetapkan, (Rusmana, 2010: 6).
i.
Kegiatan Pembelajaran
a.
Pendahuluan
Merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan
pembelajaran yang ntuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta
didik untuk berpartisipasi aktif dalam proes pembelajaran, (Rusmana, 2010: 7).
b.
Inti
Merupakan proses pembelajaran untuk mencapai
kompetensi dasar. Kegiiatan dilakukan secara sistematis agar pembelajaran
berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kretivitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik, (Rusmana, 2010: 7).
c.
Penutup
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri
aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau
kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, serta tinadak lanjut,
(Rusmana, 2010: 7).
j.
Penilaian Hasil Belajar
Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar
disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu pada standar
penilaian, (Rusmana, 2010: 7).
k.
Sumber Belajar
Didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar,
serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian, (Rusmana,
2010: 7).
2. Penjabaran Kompetensi Dasar kedalam
Indikator Kompetensi
Indikator merupakan kompetensi Dasar secara spesifik
yang dapat dijadikan ukuran untuk
mengetahui ketercapaian hasil pembelajaran. Imdikator dirumuskan dengan kata
kerja operasional yang bisa diukur dan dibuat instrumen penilainnya.
Indikator pencapaian hasil belajar dalam silabus
berfungsi sebagai tanda- tanda yang menunjukkan terjadinya perubahan perilaku
pada peserta didik. Tanda- tanda ini lebih spesifik dan lebih dapat diamati
dalam diri peserta didik. Jika diserangkaian indikator hasil belajar sudah
tampak pada diri peserta didik, maka targaet kompetensi dasar tersebut tecapai
Menurut D.Moore (dalam Majid, 2007: 53-55), Sebagai guideline dan tentu bukan sebuah rumusan
mutlak, namun setidaknya sebagai inspirasi dalam perumusan indikator kompetensi
tersebut.
A. Proses Kegiatan Belajar Mengajar
Mengajar adalah membantu (mencoba membantu)
seseorang untuk mempelajari sesuatu dan apa yang dibutuhkan dalam belajar itu
tidak ada kontribusinya terhadap
pendidikan orang belajar, (Sagala, 2006: 5).
Dalam kegiatan belajar mengajar merupakan jalan yang
harus ditempuh oleh seorang pelajar atau mahasiswa untuk mengerti suatu hal
yang sebelumnya tidak di ketahui. Oleh karena itu supaya dalam proses kegiatan
belajar mengajar aktif guru harus punya strategi dalam mengajar ataupun model
pembelajaran yang bagus. Maka akan tercipta suasana kegiatan belajar mengajar yang
aktif.
B. Penguasaan Penilaian Hasil Belajar
Peserta Didik
Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil
pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta
digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan
memperbaiki prose pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematis,
dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau
lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilain hasil karya berupa tugas,
proyek dan/ atau produk, portofolio, serta penilaian diri. Penilaian hasil
pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian
Kelompok Mata Pelajaran, (Rusmana, 2010:
13).
Dengan demikian guru adalah orang yang bertanggung
jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu
kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu
kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada
akhirnya terletak di tangan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
B. Uno, Hamzah. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Denham,
et.al 2003. Preschool Emotional
Competence: Pathway To Social Competence. Journal of Child Development.
Vol. 74, No 1-238-256
Depdikanas. 2004. Penelusuran Potensi Siswa. Jakarta: Depdiknas
Depdikbud,
1995. Komunikasi Interpersonal. Jakarta:
Depdikbud
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Strategi
Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Irfan, Ali. 2012. B’Right Teacher. Tegal: Xaivera
Liliweri, Alo. 1997. Sosiologi Organisasi, Bandung:
Citra Aditya Bakti
Majid, Abdul. 2007. Rencana Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi Guru).
Bandung: Remaja Rosdakarya
Mangunhardjana,
2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius
Mulyasa, E. 2005. Menjadi guru
professional. Bandung: Rosdakarya
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru (Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori
dan Praktik). Jakarta: Kencana
Rusmana. 2010. Model- Model Pembelajaran. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Sagala, Syaiful. 2006. Administrasi Pendidikan Kontemporer.
Bandung: Alfabeta
Sagala, Syaiful. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga
Kependidikan. Bandung: Alfabeta
Samana,
2003. Profesionalisme keguruan. Yogyakarta: Kanisius
Saudagar, Fachrudin dan Ali Idrus. 2009. Pengembangan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Gaung Persada
Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 20005 tentang Guru dan Dosen. 2009. Jakarta: Sinar Grafika
Usman, Moh. Uzer.1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung:
Rosdakarya
Alvonco, Johson. 2012. http//johson-alvanco.blogspot.com/2012/01/komunikasi-intrapersonal-interpersonal.html.
Diakses Tanggal 26/02/2013. Pukul 17:45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar